Senin, 04 April 2016

ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN PRAKTIK KEBIDANAN



Nama               :           Natalia Maria Marcellina ID
Kelas               :           B12.2
NIM                :           15140087

“ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN PRAKTIK KEBIDANAN”

A.    Aspek Budaya Kehamilan
Selain menimbulkan kebahagiaan bagi wanita dan pasangannya, kehamilan juga dapat menimbulkan kekhawatiran pada wanita pada trimester 1, 2 dan 3. Dengan menerapkan manajemen asuhan kebidanan diharapkan bidan memperhatikan kebutuhan dasar manusia dalam aspek bio-psiko-sosial-budaya dan spiritual. Tingkat kebutuhan tiap individu  berbeda-beda. Masa kehamilan dan persalinan pada manusia dideskripsikan oleh Bronislaw Malinawski (1927) sebagai fokus perhatian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ibu hamil dan yang akan bersalin dilindungi secara adat, religi dan moral atau kesusilaan berdasarkan tujuan untuk menciptakan keseimbangan fisik antara ibu dan bayi, serta terutama untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Kondisi tersebut dihadapkan pada kenyataan adanya trauma persalinan dalam masyarakat, yang mengakibatkan ansietas pada ibu hamil (Malinowski, 1927)
Pada dasarnya, masyarakat mengkhawatirkan masa kehamilan dan persalinan karena menganggap masa tersebut kritis karena dapat membahayakan bagi janin dan atau ibunya. Tingkat kekritisan ini dapat dipandang berbeda oleh setiap individu, dan direspon oleh masyarakat dengan berbagai strategi atau sikap, seperti upacara kehamilan, anjuran dan larangan secara tradisional. Di samping itu, masyarakat secara umum berperilaku mementingkan memelihara kesehatan kehamilan, sesuai pengetahuan kesehatan modern dan tradisional. Strategi-strategi tersebut dilakukan warga masyarakat agar dapat dicapai kondisi kehamilan dan persalinan ideal tanpa gangguan (Danandjaja,1980; Swasono, 1998)



Terlepas dari sudut pandang masyarakat  tentang masa kehamilan dan persalinan yang kritis, terdapat berbagai pandangan budaya (tuntutan budaya), serta faktor-faktor sosial lainnya dalam kepentingan reproduksi. Hal tersebut meliputi:
·         Keinginan ideal perorangan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu.
·         Mengatur waktu kelahiran.
·         Sikap menerima tidaknya kehamilan.
·         Kondisi hubungan suami istri.
·         Kondisi ketersediaan sumber sosial.
·         Pengalaman perorangan mengatasi dan menghadapi komplikasi persalinan dan lain-lain.

Berbagai pandangan budaya dan faktor-faktor sosial tersebut dapat menjadi stressor yang mendukung pandangan bahwa masa hamil dan bersalin dianggap kritis dan mengakibatkan kekhawatiran bagi warga masyarakat. Pada masa kehamilan dan saat menjelang kelahiran, aspek financial juga dapat menjadi masalah jika ibu hamil dan pasangannya belum bekerja, berhenti bekerja, atau dengan penghasilan yang kurang. Ibu hamil mungkin tinggal di rumah kontrakan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan dalam lingkungan kumuh sehingga membuat ibu rentan terhadap kekurangan gizi pada masa kehamilan. Dalam setiap masyarakat ada mitos atau kepercayaan tertentu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dan adat istiadat tertentu, seperti mitos “mitoni” :
Ø  Tidak boleh  makan makanan yang berbau amis.
Ø  Tidak boleh mempersiapkan keperluan untuk bayi sebelum lahir.
Ø  Ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik dari pada anggota keluarganya yang lain.
Ø  Anak laki-laki diberi makan lebih dulu dari pada anak perempuan dan lain sebagainya.
Yang  menentukan kuantitas, kualitas, dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia jenis kelamin, dan situasi-situasi tertentu. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan, yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu. Dengan kata lain, ibu mempunyai peran sebagai gate-keeper keluarga.

B.     Aspek Budaya Persalinan
Persalinan normal adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir secara spontan dengan presentasi belakang kepala dan tanpa komplikasi. Persalinan/partus dibagi menjadi 4 kala, yaitu kala I, II, III, dan IV.
v  Kala I
Periode persalinan ini dimulai dari pembukaan 1 cm sampai 10 cm (lengkap). Dalam kala ini ada beberapa fase, yaitu :
·         Fase laten : pembukaan servik kurang dari 3 cm, servik membuka perlahan selama fase ini dan biasanya berlangsung tidak lebih dari 8 jam
·         Fase aktif : kontraksi di atas 3 kali dalam 10 menit, lama kontraksi 40 detik atau lebih dan mulas, pembukaan dari 4 cm sampai 10 cm (lengkap) dan terdapat penurunan bagian terbawah janin.
v  Kala II
Periode ini dimulai dari ketika pembukaan lengkap sampai lahirnya seluruh tubuh janin. Tanda dan gejala persalinan kala II meliputi :
·         Ibu ingin mengejan.
·         Perineum menonjol.
·         Vulva dan anus membuka.
·         Meningkatnya pengeluaran darah dan lender.
·         Kepala telah turun didasar panggul.
v  Kala III
Periode ini dimulai sejak bayi lahir sampai plasenta lahir. Normalnya pelepasan plasenta berkisar 15-30 menit setelah bayi lahir. Pada persalinan kala III miometerium akan berkontraksi mengikuti berkurangnya ukuran rongga uterus ini menyebabkan pula berkurangnya ukuran tempat pelekatan plasenta. Karena tempat pelekatan menjadi kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah, plasenta akan terlepas dari dinding uteri. Setelah lepas, plasenta akan turun ke segmen bawah rahim.
Tanda-tanda pelepasan plasenta meliputi:
·         Bentuk uterus globuler.
·         Tali pusat bertambah panjang (tanda afeld).
·         Semburan darah tiba-tiba.

Cara pelepasan plasenta ada dua, yaitu:
1.      Cara Schultze
Pelepasan dimulai pada bagian tengah plasenta dan terjadi hematoma retroplasentae yang selanjutnya mengangkat plasenta dari dasarnya. Plasenta dengan hematoma di atasnya sekarang jatuh ke bawah dan menarik lepas selaput janin. Bagian plasenta yang tampak pada vulva adalah permukaan fetal, sedangkan hematoma sekarang berada dalam kantong yang berputar balik. Pada pelepasan secara Schultze tidak ada pendarahan sebelum plasenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya. Baru seluruh plasenta lahir darah banyak mengalir.
2.      Cara Ducan
Pelepasan dimulai dari tepi plasenta. Darah mengalir antara selaput janin dan dinding rahim, jadi pendarahan sudah ada sejak sebagian dari plasenta lepas dan terus berlangsung sampai plasenta lepas secara keseluruhan. Pelepasan secara Ducan sering terjadi pada plasenta letak rendah.

v  Kala IV
Periode ini dimulai setelah lahinya plasenta sampai 1 jam setelah itu. Pemantauan pada kala IV meliputi:
·         Kelengkapan plasenta dan selaput ketuban,
·         Perkiraan pengeluaran darah,
·         Laserasi atau luka episiotomy pada perineum dengan pendarahan aktif, dan
·         Keadaan umum serta tanda-tanda vital ibu
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data survey kesehatan rumah tangga tahun 1992 menunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan ibu.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa alasan antara lain:
a.       Dikenal secara dekat.
b.      Biaya murah.
c.       Mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak.
d.      Dapat merawat ibu dan bayi sampai 40 hari di samping akibat keterbatsan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada.

Interaksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah pendarahan, infeksi dan ekslamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dan proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang  baik tetapi, juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, di daerah pedesaan, keputusan perawatan medis yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua atau keputusan ada di tangan suami yang sering kali menjadi panik melihat keadaan kritis yang terjadi. Kepanikan dan ketidak tahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan secara cepat. Tidak jarang pula nasihat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil.
Selain itu, sering kali kondisi tersebut diperberat oleh faktor geografis, karena jarak rumah ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau kendala ekonomi dan adanya tanggapan bahwa membawa ibu ke rumah sakit akan membutuhkan biaya yang mahal. Selain faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan faktor ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tidak dapat dihindari. Selain pada masa hamil, pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan.
     Pantangan atau anjuran yang  berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya:
·         Ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI
·         Ada makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi.
Secara tradisional ada praktik-praktik yang dilakukan dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya;
1.      Mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula.
2.      Memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan  maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan.
3.      Member jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al, 1996).

C.    Aspek Budaya Masa Nifas
Masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, lama masa nias yaitu 6-8 minggu (Rustam Mochtar, 1998, hal. 115). Tujuan perawatan masa nifas yaitu:
1.      Memulihkan kesehatan umum penderita,
2.      Mendapatkan kesehatan emosi yang stabil,
3.      Mencegah terjadinya ineksi dan komplikasi,
4.      Memperlancar pembentukan ASI, dan
5.      Agar penderita dapat melaksanaan perawatan sampai masa nifas selesai dan memelihara bayi dengan baik.

Keadaan psikologis pada masa nifas meliputi insting keibuan, yang merupakan perasaan dan dorongan yang dibawa sejak manusia dilahirkan, yang ada dalam seorang wanita untuk menjadi seorang ibu yang selalu memberi kasih sayang kepada anaknya. Sikap ini berada dengan sikap pria dewasa. Walaupun mereka menyukai anak bayi, tetapi pendekatannya berbeda dengan wanita. Reaksi ibu setelah melahirkan ditentukan oleh tempramennya. Bila ibu bertempramen gembira, ibu biasanya menjadi ibu yang lebih sukses, sedangkan ibu yang selalu murung kemungkinan mengalami kesulitan dalam tugasnya sebagai seorang ibu. Selain itu, kemungkinan pula timbul reaksi kecemasan reaksi kekecewaan karena kedatangan bayinya belum diharapkan. Untuk mengadakan penyesuaian tersebut kemungkinan ibu dapat mengatasinya sendiri atau memerlukan bantuan. Oleh karena itu, tugas bidan untuk memberi bantuan yang merupakan bimbingan agar ibu dapat mengatasi masalahnya. Kebutuhan ibu masa nifas meliputi:
v  Kebutuhan fisik
Selama hamil umumnya menurun walaupun tidak sakit. Untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti istirahat, makanan yang bergizi, lingkungan bersih dilakukan pengawasan dan perawatan yang sempurna serta pengertian dari lingkungan setelah ibu pulang nanti.
v  Kebutuhan psikologis
Kebutuhan bagi tiap-tiap individu bahwa manusia butuh diakui, dihargai, diperhatikan oleh manusia lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan psikologis, bidan dan keluarga harus bersikap dan bertindak bijaksana dan menunjukan rasa simpati dan menghormati.
v  Kebutuhan sosial
Ibu dipenuhi dengan memfasilitasi pasangan atau keluarga mendampingi ibu bila murung, menunjukkan rasa saying pada bayi, memberi bantuan dan pelajaran yang dibutuhkan untuk mengembalikan kesehatannya.

D.    Aspek Sosial Budaya Terkait Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang aterm (37-42 minggu). Bayi baru lahir yang dilahirkan dalam kondisi normal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
ü  Berat badan 2500-4000gram.
ü  Panjang badan 48-52 cm.
ü  Lingkar badan 30-38 cm.
ü  Lingkar kepala 33-35 cm.
ü  Bunyi jantung dalam menit pertama kira-kira 180 denyut/menit kemudian menurun sampai 120-160 denyut/menit.
ü  Pernafasan pada menit pertama kira-kira 80 kali/menit kemudian menurun sampai 40 kali/menit.
ü  Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan terbentuk dan diliputi verniks kaseosa.
ü  Rambut lanugo tidak terlihat, rambut tampak sempurna.
ü  Kuku agak panjang dan lemas.
ü  Pada bayi laki-laki Testis sudah turun, pada bayi perempuan genetalia labia mayora telah menutupi labia minora.
ü  Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik.
ü  Reflek moro sudah baik, bayi dikagetkan akan memperlihatkan gerakan tangan seperli memeluk.
ü  Reflek Graff sudah baik, bila diletakkan suatu benda ke telapak tangan maka akan menggenggam.
ü  Eliminasi, urine dan mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2006)
ü  Beberapa aspek sosial budaya yang dilakukan dikalangan masyarakat Indonesia terkait dengan bayi baru lahir, antara lain:
ü  Bayi harus memakai gurita supaya perutnya tidak membuncit.
ü  Bayi dibedong supaya tidak mudah terkejut, juga dapat menghangatkan badannya.
ü  Bayi saat dimandikan ditarik-tarik hidungnya agar menjadi lebih mancung.
ü  Ari-arinya harus dicuci bersih sebelum di kubur supaya bau badan tidak bau nantinya.
ü  Ibu tidak boleh membiasakan duduk dalam posisi tidur waktu menggendong bayi agar dahi bayi tidak maju (jenong atau nonong).
ü  Bayi baru lahir diberi minum grape water agar perutnya tidak kembung.
ü  Bayi baru lahir diberikan minum kopi setets agar tidak terkena penyakit  stroke.
ü  Bayi baru lahir rambutnya dipotong atau di botakin dan diberi minyak kemiri atau lidah buaya agar rambutnya tumbuh cepat dan hitam.
ü  Bayi cegukan diberi tisu basah atau kertas dibasahi di kening agar cegukannya hilang.
ü  Sapu lidi atau bangle bumbu dapur ditaruh di sebelah bantal untuk mengusir hantu jahat.
ü  Bulu mata di gunting agar lentik.
ü  Dagu lancip akibat sering ditarik.
ü  Di bawah bantal bayi ditaruh gunting lipat dan di tempat tidurnya dipukul-pukul menggunakan sapu lidi agar bayi tidur nyenyak.
ü  Bayi yang baru lahir tidak boleh difoto agar tidak menjadi narsis ketika dewasa.
ü  Bayi tidak boleh diajak keluar rumah sebelum berusia 40hari.
ü  Terkait makanan pada bayi baru lahir, ibu dilarang makan pedas, nanti feses bayi ada cabe rawit utuh, padahal maksudnya adalah mencegah bayi mengalami sakit perut jika ibu menggonsumsi makanan pedas, makan semangka menyebabkan perut bayi besar dan keras sebab “sawan” semangka dan sebagainya.
ü  Diantara berbagai aspek sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, yang terbukti kebenarannya dan benar-benar tidak masuk akal kadang membuat masyarakat menjadi bingung. Memang ada benarnya bebrapa aspek sosial budaya yang ada, yang terkadang jika kita ikuti akan bermanfaat. Misalnya, Bayi tidak boleh keluar sebelum 40 hari, sebab fisik bayi belum sekuat fisik orang dewasa jika kontak dengan udara luar akan menyebabkan sakit, dan supaya bayi tidak tertular virus dari orang sakit yang kadang kita tidak sadari pada tempat yang ramai. Sedangkan kerugiannya jika kita sangat mempercayai hal tersebut antara lain bayi pada usia sebelum 40 hari mempunyai beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dan harus keluar rumah. Misalnya untuk imunisasi, berubat ke pelayanan kesehatan ketika bayi mengalami demam atau pilek, Bayi memakai gurita agar perutnya tidak buncit, padahal jika dikaitkan dengan kesehatan, bayi memakai gurita terlalu kencang dapat mengurangi daya pernafasan pada bayi yang pada akhirnya bayi tersebut sesak nafas, karena bayi lebih banyak menggunakan pola pernafasan perut, berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan dada.

Mitos pada bayi baru lahir diantaranya :
a.       Bayi dibedong agar kaki dan tangan tidak bengkok
b.      Pakai gurita agar tidak kembung
c.       Hidung bayi ditarik-tarik agar bisa mancung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar